Ini Hanya Selembar
Tak banyak kata yang mampu kutulis ini cukup
memngambarkan penolakanku, mengenalmu sudah cukup lama, bahkan melihat
pengorbananmu yang begitu besar tak mampu terurai, tak mengenal waktu kau rela
membawakanku sekotak makanan, melalui dinginya angin malam tak membuatmu merasa
dingin untuk hanya sekedar melihatku dan memastikan aku makan malam, bukan
hanya sekedar makanan, aku sering mencaci makinya dengan kata-kata kasar bahkan
menyeret nama orang tuanya tapi, dia yang marah membuatku tak merasa takut
bahkan aku merasa risih dengan tingkahnya yang berlebihan, tak menghitung jam
rasa amarah yang sempat menjadi raja dalam fikiran dan perasaanmu berubah
menjadi malaikat dan berbalik meminta maaf padaku. Aku masih saja risih.
“sudah
cukup aku risih!”
“Sampai
kapan kamu egois seperti ini ?”
“Sampai
kamu mati!”
Ini bukan kata-kata yang pertama namun
berulang-ulang kuucapkan ketika hati ini kacau, dia yang selalu khawatir dengan
keadaanku dan aku yang tak suka diperhatikan, dia yang selalu mengingatkanku
dan aku yang selalu merasa paling benar, menjadikan semuanya tak searah, dia
yang selalu berjalan dipermukaan air dan aku lebih memilih jalan berliku dan
tak memedulikan dia ketika terombang ambing dideranya arus air yang tak
menentu, aku yang salah jalan ataupun benar takkan peduli dengan sedikit petunjuk
darinya.
Kebaikannya menjadi racun bagi diriku
sendiri, pertama kali aku mengenalnya aku terbawah oleh gemingan kebaikanya,
yang menganggapku sebagai adiknya sendiri, membantuku dalam segala hal, aku
masih saja bertahan dengan posisi sebagai adiknya tapi, dia malah merubah
perasaan suka itu menjadi kagum dan akhirnya dia cinta mati, cinta mati dalam
pengertiannya namun kesalahan terbesar dalam tafsiranku.
2 tahun terjalin sudah perasaan sepihak ini,
rasanya tak mau melihat wajahnya, tapi hanya ingin melihat kebaikanya saja,
ingin rasanya menyamakan perasaanku tapi matanya berkata lain, aku duduk
disampingnya perasaan takkaruan, aku masih saja bergelut dengan perasaan yang
membuatku tersiksa, seperti duduk dengan sodara kandung namun dia mencintai
sepertilayaknya istri aneh kan? AKU GUGUP!
“tak
terasa sudah 1 tahun kita tunagan. Katanya pelan
Aku
hanya diam menundukkan kepala dan rasanya ingin menaparnya, begitu bahagianya
ia mengutarakan kata-kata yang membuatku semakin menjadi untuk membencinya.
“Aku
sudah tidak tahan lagi”! Kataku dengan nada tinggi.Aku berdiri, menggaruk-garuk
kepala, menghentakkan kaki.Dia berusaha menenangkanku dengan jurus jitu yang
sudah lambat laun membuatku bosan.
“Aku
tidak bermaksud mendesakmu menikah, kita jalani sampai kamu siap aku siap
menunggu, kamu hanya butuh waktu aku mungkin akan mati kalau bukan menikah
dengan kamu”.
“Aku
tidak butuh waktu lagi sekarang semuanya cukup, mending kamu bunuh aku dan aku
mungkin lebih tenang”.
Dia hanya diam, tak ingin memperkeruh
permasalahan ini, emosi sepihak mulai meredah aku tak banyak bicara lagi
sedikit merasa bersalah karena hanya menyalahkan dia, dia mengantarku pulang
sepanjang perjalanan aku hanya diam, dan fokus mendengar radio mobilnya, dia
juga hanya diam. Beberpa menit kemudian aku minta untuk diturunkan di depan
sebuah pusat perbelanjaan, dia mencegahku tapi, aku tak menghiraukan apapun
yang dia katakan, aku turun dan menutup dengan keras pintu mobinya, aku tak
bisa mengambarkan wajahnya tapi, mengenalnya membuatku tau dia hanya
mengelus-elus dada menghadapiku.
Mobil hitam itu melaju, dan belum 5 menit
handphoneku bergetar tanda ada sms yang masuk, aku hanya melihat layar handpone
dan itu pesan darinya, aku mengabaikan pesan itu tak ada sedikit rasa ingin
membuka pesan. Aku hanya terus berjalan menuju travel mampir sekitar 20 menit
lalu pulang menggunakan taxi dalam taxi aku membuka kartu hadpone dan
membuangnya diluar jendela, dan membuang bersama dengan pesan yang belum sempat
terbaca, Aku tak peduli
Hanya kata-kata “Aku sayang sama kamu aku mau
hidup sama kamu” yang membuat semuanya seruwet ini dan dengan jawaban “ kalau
memang serius langsung lamar “ yang membuatku salaha disemua cerita, semuanya
terbukti dia yang dengan gagahnya membawa ibu dan ayahnya kerumah dan orang
tuaku yang terpanah dengan keberanianya aku merasa berhutang budi, dan
bermaksud membalasnya denga menerima pinagannya dan membuatku terjebak harus
kujalani selama 1 tahun sandiwara ini, aku jalani dengan harapan akan jatuh
cinta namun aku hanya tetap berada diposisi yang sama, takkan mampu tertutupi
oleh apapun.
Rasanya begitu tenang, serasa lahir kembali
selepas dari lelaki lebay itu, hari-hari yag kutata dengan begitu selektif dan
yang pasti tak mau lagi terjerumus dengan iming-iming persaudaraan karena hanya
menyisakan beban moril yang mendalam, tak bisa membedakn mana cinta sodara dan
mana yang menjadikan nama sodara menjadi topeng, walaupun ini kesalahanku, tapi
aku takkan menjadikan nama cinta menjadi korban dan takkan mau salah di titik
yang sama. Aku bebas dan berhasil lari darinya, dan tidak akan mungkin
menemukanku dikota jakarta dengan muda semntara dia di Maluku, aku memutuskan
untuk melanjutka S2 dijakarta dan menata hidupku kembali, sesekali aku mencek
akun facebook dan twitter dan hanya ada pesannya yang menumpuk dari jejeran
pesan yang ada, tak ada niat untuk membukanya aku hanya mengabaikan dan
langsung menghapus pesannya. Tali pertunangan yang putus secara sepihak ini
membuatku sedikit legah, tak mau memikirkan apa-apa lagi, aku hanya cukup
menata hati dan menunggu diri sendiri untuk jatuh cinta dan bukan karena rasa
kasihan.
Aku mecek akun twitter lagi, membuka pesan dan
ada yang aneh tak ada satupun pesan dari dia, tapi, ada yang menarik ada satu
pesan yang membuatku tergerak untuk membacanya pesan dari kakak kandung Ilmi,
“ Ilmi sudah terbaring di rumah sakit selama 1
bulan, dia hanya menyebut nama mu Ana kami dari pihak keluarga sangat berharap
kamu kembali walaupun sebentar, kami sudah tau semua kelakuan kamu dari buku
catatan Ilmi, selama ini dia tidak pernah cerita apa-apa tentang hubungan
kalian, bahkan dia sering menceritakan kelebihanmu saja.
Tiba-tiba air mataku meleleh, tak tau kenapa ini
kali pertama aku menagis karenanya, isi pesan ini terlalu menyentuh untuk
kubaca, kata-katanya yang akan mati bila kutinggalkan itu membuatku merasah begitu
haru, apakah mungkin itu akan menjadi kenyataan dan aku akan menjadi pembunuh,
tak bisa kubiarkan aku harus pulang. Tak berpikir panjang aku bergegas pulang,
hanya menelpon taxi dan membawahku kebandar, beberapa jam aku tiba dimaluku,
tak kenal lapar,lelah,dan haus aku hanya melanjutkan perjalananku, airmata yang
terus meleleh berharap masih bisa mendapatkan sedikit denyut nadinya. Aku lari
dan terus lari menuju ruangan dimana dia dirawat, panik mencari perawat dan
menanyakan ruangan, perawat muda itu menunjuk keatah timur, aku diam lalu
berlari menerobos semua rasa lelah dan berdiri tepat didepan pintu, aku melihat
kearahnya, keluarganya memandangku begitu sinis, dengan deraian air mata mereka
mencaciku.
“Perempan
tak tau malu”! kata ibunya dengan nada lantang lalu meraih rambutku dan
mendorongku hingga tergeletak dilantai, ayahnya berusaha menenangkan suasana
namun amarah ibunya tak kuasa dibendung dia kembali menamparku. Aku tak
menghiraukan ibunya aku melihat lat pendeteksi jantung itu masih normal, aku
mendekat dan membisikkan kata-kata ditelinganya
“Ilmi”.
Dia belum membuka matany tak ada respon
“Ilmi”.
Jari-jarinya bergerak
“Ilmi”.
Disudut matanya menetes air mata
”Ilmi aku minta maaf, mungkin aku hanya menjadi
perempuan paling berdosa dan paling membuatmu menderita, terimakasih karena kau
telah mencintaiku sebesar ini mungkin lautan takkan bisa menjadi bukti
terimakasihku, kau memang adalah orang yang paling sempurnah mencintaiku selain
ibu dan ayahku dimuka bumi ini dan mungkin tak ada orang kedua yang terlahir
untukku, maaf karena aku lari dari kenyataan, maaf juga karena semuanya
membuatmu terbaring tak berdaya seperti ini. Ilmi cinta memang bagian dari
pengorbanan tapi, pengorbanan tak menjadi bagian cinta, batu takkan berubah
menjadi salju, dan alam selamanya akan menjadi alam bukan menjadi tulisan, Ilmi
mungkin aku datang hanya akan menambah irisan luka dihatimu yang akhirnya akan
membunuh kita berdua tapi, jika hari ini nadi terakhir untukmu aku takkan
berbohong lagi dan takkan meninggalkanmu, semuanya membuatku merasa mati
sebelum mati ketika cinta harus diutarakan dengan sakral namun tak memberikan
hasil untuk detak jantungnya yang mulai melambat, aku takkan mau membuatnya
istrahat dengan kebohongan meski luka itu adalah luka yang membuatnya akan
mengerti alasanku, aku putus asa, tak ada jalan lain aku tak ingin bicara
dengan jasadnya yang tak berpenghuni.
“Ilmi
bangun”! Dengan kasar
Aku datang disini bukan karena mencintaimu, dan
aku tak tau aku hanya selalu mengagumi kebaikanmu dan pengorbananmu, Tuhan telah
memberiku seribu lembar untukku catat semua kehidupanku namun hanya memuat
selembar saja tentang rasa cinta itu, Air matanya terus mengalir dari sudut
mata, suasana yang haru orang tua dan sanak keluarga yang begitu marah tak
membuatku harus berpurapura mencintainya meski dia akan mati pada saat itu. Aku
berlari menjauh dari ruangan itu dan aku tak tau apa yang terjadi disana, aku
hanya berlari dengan linangan air mata dan Dorrrrrrrrrrrrrrrrrrr !!!! Aku
merasa tercekik persis dibawah mobil ber ban 10 ini